
DetakNasional – Insiden kekerasan terhadap pers kembali mencoreng wajah demokrasi di Indonesia. Ketua DPD Gerakan Masyarakat Obor Cet Langet (GMOCT) Aceh, Ridwanto, menjadi korban pembacokan saat melakukan investigasi terkait sengketa lahan masyarakat di Desa Babah Lueng, Kecamatan Tripa Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Senin (18/8).
Peristiwa itu terjadi ketika Ridwanto bersama warga menelusuri dugaan penyerobotan lahan plasma oleh perusahaan perkebunan PT Surya Panen Subur 2 (SPS2). Tiba-tiba, seorang pria tak dikenal yang diduga kuat merupakan preman bayaran perusahaan menyerang dengan senjata tajam hingga menyebabkan luka serius di bagian dada.
Korban segera dilarikan ke RS Sultan Iskandar Muda (SIM) untuk mendapat perawatan intensif. Pihak keluarga dan rekan korban pun telah melaporkan kejadian ini ke Polres Nagan Raya.
“Ini bukan hanya serangan terhadap individu, tapi bentuk nyata upaya pembungkaman suara rakyat yang tengah memperjuangkan hak atas tanah mereka,” tegas Asep Riana, Wakil Ketua Umum GMOCT.
Menurut sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat Desa Babah Lueng, aksi kekerasan seperti ini bukan kali pertama terjadi di wilayah konflik lahan PT SPS2. Mereka menduga serangan dilakukan secara terencana untuk menghalangi advokasi rakyat dan peliputan pers.
“Kami mendesak aparat penegak hukum mengusut tuntas pelaku maupun otak intelektual di balik aksi keji ini,” ujar salah seorang tokoh masyarakat.
Unsur Hukum dan Pelanggaran
Serangan terhadap Ridwanto bukan hanya tindak pidana umum, tetapi juga pelanggaran serius terhadap kebebasan pers dan hak asasi manusia:
1. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Pasal 351 ayat (2) KUHP:
“Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
2. Upaya Pembungkaman Pers
Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
3. Dugaan Pelanggaran HAM
Jika terbukti dilakukan secara terstruktur dan melibatkan perusahaan, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana dijamin dalam:
Pasal 28E UUD 1945
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Desakan dan Komitmen Advokasi
GMOCT menegaskan tidak gentar dan akan terus mendampingi warga dalam memperjuangkan hak atas tanah dan keadilan sosial. Serangan ini justru memperkuat solidaritas publik terhadap korban serta perjuangan masyarakat adat dan petani di Aceh.
“Kami akan terus berada di garis depan. Kekerasan ini takkan membungkam kami,” tegas Asep Riana.
Publik Menanti Ketegasan Aparat
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan premanisme dan kriminalisasi terhadap pejuang hak agraria serta jurnalis di Indonesia. Publik mendesak aparat penegak hukum untuk tidak hanya menangkap pelaku lapangan, tetapi juga mengungkap kemungkinan keterlibatan pihak korporasi sebagai aktor intelektual.
Kebebasan pers dan perjuangan rakyat bukan untuk dibungkam, melainkan harus dijamin dan dilindungi oleh hukum serta negara.
(Ppri/Red)